Selasa, 24 Agustus 2010

Pertahankan Hidupmu, Anakku

Thay, penulis sekaligus tokoh utama buku ini hidup dalam masa pergolakan tirani kepemimpinan kelompok khmer merah. Sosialisme adalah utopia yang menawan. Namun ketika itu dijalankan tanpa landasan yang kuat dan perencanaan yang matang, hal tersebut berbalik menjadi mimpi buruk bagi setiap orang yang berada di bawah bayang-bayangnya. Itu yang dirasakan dengan sangat oleh Pin Yathay (Thay).


Lahir sebagai cendekiawan, Thay termasuk pria sukses di negaranya (Kamboja). Paman ayahnya bahkan adalah pemimpin agama tertinggi di negara tersebut pada waktu itu. Namun saat revolusi berlangsung kehidupannya berbalik 180 derajat dalam sekejab. Dari sebagai warga negara yang terhormat dan disegani ia dan rekan-rekan "warga baru "(sebutan bagi mereka yang mapan dalam struktur sosial/ warga kota) lainnya tiba-tiba diseret menjadi kelompok masyarakat yang lebih rendah dari orang kampung.

Thay mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mempertahankan stabilitas keluarganya. Ayah dan ibunya, istrinya Ani, kakak-kakaknya, ipar-iparnya, dan tidak lupa ketiga buah hatinya. Semua itu di tengah proses adaptasi yang mengejutkan, "kerja paksa menggarap ladang komunal dan keperluan lain untuk digunakan bersama lainnya." Frustasi dengan kebodohan para anggota khmer merah, Thay harus menelan sendiri kedongkolannya mengerjakan proyek irigasi yang tak kan memberi hasil, dengan perut lapar karena memprihatinkannya jatah ransum yang diberikan oleh Angkar (organisasi khmer merah).

Masih banyak kesengsaraan lain yang dialaminya dalam cengkeraman kelompok khmer merah tersebut. Kapitalisme benar-benar disingkirkan secara simbolis, namun pada kenyataannya Thay tetap harus dengan terpaksa melakukan transaksi ilegal untuk mendapatkan ransum tambahan untuk mempertahankan hidupnya kalau tidak mau mati kelaparan seperti rakyat "warga baru" lainnya.

Kesulitan itu pun berakhir dengan upaya gigih Thay meloloskan diri dari Khmer merah dengan melintasi perbatasan menuju Vietnam. Hal itu dilakukannya karena statusnya sebagai orang berpengaruh dalam pemerintahan sebelumnya (yang tidak disukai oleh kelompok khmer merah) mulai terendus. Lagipula seluruh keluarganya satu persatu telah meninggal dalam masa-masa kehidupan yang mengenaskan tersebut.

Thay berjuang untuk hidup sebagaimana pesan terakhir ayahnya. Pertahankan hidupmu, Anakku. Pesan yang sama yang ia tujukan pula kepada putra keduanya yang ia tinggalkan di rumah sakit dengan terpaksa.... Hari baru telah tiba. Thay menjelang kebebasan dengan meninggalkan "mimpi buruk" pemerintahan khmer merah, yang juga mulai runtuh perlahan-lahan di belakangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar